Dekat Pusat Pemerintahan IKN, Warga Desa Bumi Harapan Masih Terjebak Jalan Rusak: Antara Asa dan Realita Pembangunan
Penajam Paser Utara, 27 Mei 2025 – Hanya berjarak beberapa
kilometer dari jantung pembangunan megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN), sebuah
desa bernama Bumi Harapan justru seperti berada di dunia yang berbeda. Di saat
deru alat berat dan dentuman proyek infrastruktur mewah menghiasi langit
Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP), warga desa ini masih harus bergelut
dengan jalan berlumpur di musim hujan dan debu tebal di musim kemarau.
Sebagai desa penyangga dari salah satu proyek ambisius nasional terbesar abad ini, Bumi Harapan seharusnya menikmati efek domino dari geliat pembangunan IKN. Namun kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik.
“Sudah lama saya keluhkan jalan lingkungan yang rusak ini, tapi belum ada tanggapan juga dari pemerintah daerah,”
— Sunaryo, Kepala Desa Bumi Harapan.
Ungkapan sederhana dari Kepala Desa Sunaryo itu seperti mengiris nurani. Jalan-jalan lingkungan yang seharusnya menjadi urat nadi aktivitas warga justru kini berubah menjadi sumber masalah. Dan ironisnya, kerusakan itu salah satunya disebabkan oleh tingginya aktivitas kendaraan berat milik para kontraktor IKN yang berlalu-lalang di jalur pemukiman warga.
Jalan Berlubang di Tengah Megaproyek Negara
Desa Bumi Harapan secara geografis berada dalam wilayah
administratif Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara – lokasi yang
ditetapkan sebagai kawasan strategis pengembangan IKN. Desa ini bukan bagian
dari inti kawasan, namun posisinya vital sebagai penghubung logistik, tempat
tinggal pekerja, dan bahkan penyedia kebutuhan pangan lokal bagi sebagian
pekerja proyek.
Namun alih-alih menikmati berkah pembangunan, warga desa justru harus menahan kesabaran. Di musim hujan, anak-anak harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir di jalanan licin. Sementara para pengendara motor kerap terjebak lumpur tebal yang bisa mencapai lutut. Ketika musim kemarau tiba, jalan berubah menjadi jalur berdebu yang membahayakan pernapasan.
Sunaryo menambahkan bahwa tidak semua jalan rusak itu rusak karena waktu atau cuaca. Banyak yang hancur akibat beban berat dari kendaraan proyek yang kerap melintas.
“Kalau jalan umum memang sudah bagus. Tapi jalan lingkungan kami ini tambah hancur karena banyak alat berat yang lewat sini. Kan banyak kontraktor yang tinggal di pemukiman warga,” katanya lirih.
Antara Janji dan Kenyataan
Kekecewaan Sunaryo dan warga Bumi Harapan bukan tanpa
alasan. Sejak penetapan IKN sebagai ibu kota baru, harapan besar tumbuh di hati
masyarakat sekitar. Mereka percaya bahwa dengan adanya IKN, pembangunan akan
lebih merata. Namun sejauh ini, perhatian masih tersentral pada kawasan elit
KIPP yang menjadi simbol pemerintahan masa depan Indonesia.
“Kami berharap Otorita IKN bisa bantu membangun jalan-jalan di desa kami, karena jalan ini adalah pintu gerbang utama menuju IKN,” harap Sunaryo.
Desakan tersebut sejatinya cukup masuk akal. Bagaimana tidak? Desa ini bukan hanya dilintasi alat berat dan kendaraan proyek, tetapi juga menyumbang tenaga kerja lokal, menyediakan hunian alternatif bagi para pekerja, serta menjadi jalur logistik nonformal yang digunakan oleh sebagian kontraktor.
Namun hingga berita ini ditulis, belum ada respon resmi dari Otorita IKN atas keluhan warga tersebut. Keheningan yang terasa janggal, mengingat IKN mengusung semangat smart, inclusive, sustainable sebagai visinya. Jika inklusifitas tak mencakup desa-desa penyangga, maka nilai tersebut patut dipertanyakan ulang.
Aspirasi dari Pinggiran Mega Kota
Sunaryo tidak sendiri dalam memperjuangkan perbaikan
infrastruktur desanya. Warga lainnya, seperti Rahmat (35), seorang petani yang
sehari-hari membawa hasil panennya ke pasar kecamatan, mengaku kerusakan jalan
sangat menyulitkannya.
“Kalau hujan, motor saya sering mogok di tengah lumpur. Pernah sekali sampai harus dorong motor lebih dari satu kilometer,” katanya.
Senada dengan itu, Siti Aisyah (29), ibu rumah tangga yang sehari-hari mengantar anaknya ke sekolah, merasa khawatir akan keselamatan anak-anak yang harus melewati jalan licin dan berlubang.
“Anak-anak bisa jatuh, apalagi kalau tidak hati-hati. Kami khawatir, tapi harus bagaimana lagi?”
Warga juga mempertanyakan keadilan distribusi pembangunan. Jika dana triliunan rupiah bisa digelontorkan untuk membangun gedung pemerintahan megah, kenapa sekadar rabat beton atau pengerasan jalan lingkungan saja tak bisa diwujudkan untuk desa yang hanya selemparan batu dari KIPP?
Jalan Rusak, Simbol Ketimpangan Pembangunan?
Kondisi ini menimbulkan ironi yang kuat. Di satu sisi,
pemerintah gencar mempromosikan IKN sebagai kota masa depan – hijau, cerdas,
dan modern. Namun di sisi lain, warga desa yang berada di garis depan
pembangunan ini justru masih hidup dengan infrastruktur yang tertinggal.
Bagi pengamat pembangunan, situasi ini mencerminkan apa yang disebut sebagai “blind spot pembangunan”, yaitu area-area yang sebenarnya krusial namun terabaikan karena tidak masuk dalam lingkup prioritas utama. Padahal, desa-desa seperti Bumi Harapan adalah bagian dari ekosistem yang menunjang keberhasilan IKN.
Jika pembangunan IKN hanya fokus pada pusat dan melupakan pinggiran, maka narasi tentang keberlanjutan dan keadilan sosial bisa kehilangan maknanya.
Mendorong Aksi Konkret
Desakan untuk perbaikan jalan desa bukan hanya soal
kenyamanan warga. Ini juga soal keselamatan, produktivitas, dan martabat
masyarakat lokal. Jalan lingkungan yang rusak menghambat akses pendidikan,
mengganggu distribusi pangan, menurunkan nilai ekonomi lokal, dan pada akhirnya
merusak citra IKN itu sendiri.
Otorita IKN sebagai badan pelaksana pembangunan Ibu Kota seharusnya menjadikan ini sebagai prioritas strategis. Pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, juga harus bergerak sinergis untuk memastikan desa-desa penyangga tidak menjadi korban dari euforia pembangunan.
Di sisi lain, warga juga butuh pendampingan untuk bisa mengakses program pembangunan secara lebih efektif. Mungkin ini saatnya menghadirkan forum komunikasi resmi antara Otorita IKN dan perwakilan desa-desa penyangga agar aspirasi tidak berhenti di tataran retorika.
Meski kecewa, warga Desa Bumi Harapan belum kehilangan harapan. Nama desa mereka saja sudah mencerminkan optimisme yang terus menyala. Mereka percaya bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang merangkul semua, dari pusat hingga ke pinggiran.
“Kami tidak minta yang muluk-muluk. Asal jalan bisa dilalui dengan aman saja, kami sudah bersyukur,” ujar Sunaryo menutup keluhannya.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Akankah mereka menjawab keluhan ini dengan nyata, atau membiarkan Bumi Harapan tetap terjebak di antara proyek raksasa dan debu jalan rusak yang belum kunjung sirna?
Hanya waktu dan niat baik pemangku kepentingan yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat kecil, bukanlah pembangunan yang adil.