Pendopo Rakyat di Jantung Kalbar: Simbol Baru Keterbukaan Gubernur Ria Norsan

 

Pontianak, Kalimantan Barat — Ramadhan 1446 Hijriah dan perayaan Idul Fitri tahun ini meninggalkan kesan yang berbeda bagi masyarakat Kalimantan Barat. Tidak hanya karena khidmatnya suasana ibadah atau hangatnya momen silaturahmi, tetapi juga karena lahirnya semangat baru dari jantung pemerintahan provinsi: Pendopo Gubernur Kalbar.

Selama sebulan penuh, bangunan yang selama ini identik dengan kekuasaan dan administrasi pemerintahan itu berubah wajah. Pendopo Gubernur Kalbar menjelma menjadi ruang publik yang terbuka, tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat, dari pejabat hingga rakyat biasa. Salat tarawih berjamaah, majelis tausiah, acara nuzulul quran, hingga takbir akbar dan open house pada hari raya, semua berlangsung di sana dengan suasana penuh kehangatan.

Langkah ini mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan, termasuk dari tokoh muda Kalimantan Barat, Wahyu Cundrik Pamungkas, yang saat ini menjabat sebagai Penjabat Ketua Umum Majelis Wilayah KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) Kalbar.

“Saya melihat ini bukan sekadar acara keagamaan atau seremoni belaka. Ini simbol dari semangat keterbukaan pemerintahan. Gubernur Ria Norsan ingin menunjukkan bahwa Pendopo bukanlah menara gading. Ini adalah rumah rakyat, tempat semua orang bisa datang, merasa dimiliki, dan didengar,” ujar Wahyu saat ditemui usai menghadiri open house 1 Syawal di Pendopo.

Menurut Wahyu, selama ini masih ada jarak psikologis antara masyarakat dan pusat-pusat kekuasaan. Banyak warga yang merasa segan, bahkan takut, untuk mendekati lingkungan birokrasi. Namun, dengan membuka pendopo sebagai ruang publik, Pemerintah Provinsi Kalbar di bawah kepemimpinan Ria Norsan dan wakilnya, Krisantus Kurniawan, tengah mengikis sekat-sekat tersebut.

 

Tanda Bahwa Pemerintah Hadir, Bukan Berjarak

Pendopo gubernuran sejatinya adalah simbol kekuasaan eksekutif di tingkat provinsi. Namun di tangan Ria Norsan, makna itu ditransformasikan menjadi simbol kerakyatan. Kehadiran berbagai fasilitas pendukung seperti tenda besar, panggung sederhana, serta hiburan rakyat berupa orgen tunggal, turut memperkuat kesan bahwa pendopo kini menjadi milik bersama.

Kelompok Sajadah Fajar, yang tampil mengumandangkan takbir pada malam 1 Syawal di atas panggung terbuka di halaman pendopo, menjadi salah satu contoh bagaimana komunitas lokal dilibatkan aktif dalam suasana kebersamaan ini.

“Istilah ‘rumah rakyat’ yang digaungkan oleh Pak Gubernur bukan sekadar retorika. Ini bukan kampanye. Ini tindakan nyata yang menyampaikan pesan bahwa pemerintahan ini ingin dekat dan melayani,” tegas Wahyu.

Tak hanya fasilitas fisik, sikap inklusif yang ditunjukkan selama open house Idul Fitri juga mencerminkan keberpihakan pada semua kalangan. Tidak ada sekat protokoler yang kaku. Tidak ada pembatas kelas sosial. Siapa pun boleh hadir, menyalami gubernur, berbincang, bahkan berswafoto tanpa hambatan.

Dalam suasana penuh keakraban itu, terlihat bagaimana pemimpin dan rakyat berada dalam satu ruang dan waktu yang sama—sebuah pemandangan yang jarang ditemukan di birokrasi Indonesia yang kerap kali tampak elitis dan tertutup.

 

Harapan Baru di Awal Masa Kepemimpinan

Ria Norsan dan Krisantus Kurniawan, yang baru saja dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar beberapa waktu lalu, masih menjalani tahap pembekalan lanjutan di Magelang. Namun, kehadiran mereka dalam berbagai kegiatan Ramadhan dan Idul Fitri memperlihatkan komitmen awal untuk membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat.

“Kami tahu, masyarakat punya ekspektasi besar. Tapi kita juga harus bijak. Pak Ria dan Pak Krisantus baru saja dilantik dan harus melalui serangkaian pembekalan birokrasi dan administrasi pusat. Berikan mereka waktu. Saya yakin setelah Idulfitri ini akan muncul gebrakan-gebrakan besar yang menopang visi misi kampanye mereka,” ujar Wahyu optimis.

Ia juga menyampaikan bahwa sinyal positif dari duet kepemimpinan ini harus dijaga dan dikawal bersama. Menurutnya, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan tidak boleh hanya bersifat seremonial, melainkan harus menjadi gerakan kolektif yang partisipatif.

 

Menumbuhkan Budaya Politik Partisipatif

Di tengah era digital dan derasnya arus informasi, Wahyu juga mengimbau masyarakat untuk lebih selektif dalam menyikapi kabar yang beredar, terutama di media sosial. Ia menekankan pentingnya literasi digital dan kewaspadaan terhadap informasi yang berpotensi memecah belah.

“Pemerintah harus terbuka, itu sudah jelas. Tapi masyarakat juga harus dewasa. Jangan mudah terpancing provokasi atau hoaks. Peran kita sebagai warga negara adalah ikut mengawal, memberikan kritik yang membangun, dan tetap solid dalam mendukung pembangunan Kalbar ke arah yang lebih baik,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa partisipasi masyarakat bukan hanya dalam bentuk hadir di acara, tetapi juga dalam menyampaikan gagasan, aspirasi, bahkan kritik konstruktif yang bisa menjadi bahan evaluasi bagi para pemangku kebijakan.

“Demokrasi tidak hanya bicara soal pemilu. Demokrasi sejati adalah keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, dalam pengawasan, dan dalam mendorong pemerintah agar terus bekerja untuk rakyat,” imbuh Wahyu.

 

Direspons Positif Tokoh Lokal

Sikap terbuka dan humanis dari Pemprov Kalbar juga mendapat sambutan hangat dari berbagai tokoh daerah. Salah satunya adalah Tony Akbar, tokoh muda Kabupaten Landak yang juga seorang pendidik dan aktivis pendidikan lokal.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat dari berbagai kalangan—dari petani, guru, ASN, pedagang kaki lima—bercampur baur dalam acara open house. Tidak ada rasa canggung. Ini bentuk nyata dari keterbukaan dan kebersamaan yang patut kita apresiasi,” ujar Tony.

Menurut Tony, pendekatan ini bisa menjadi model baru pemerintahan yang humanis di Kalimantan Barat. Ia berharap pola seperti ini bisa terus dikembangkan, bahkan diperluas hingga ke tingkat kabupaten dan kota.

 

Menuju Pendopo yang Lebih Hidup

Langkah menjadikan pendopo sebagai ruang publik sejatinya bukan hal baru di beberapa daerah. Namun di Kalbar, inisiatif ini bisa menjadi titik awal dari transformasi budaya pemerintahan. Tidak hanya saat Ramadhan atau hari besar nasional, melainkan sepanjang tahun, pendopo bisa difungsikan sebagai ruang kolaborasi.

Bayangkan jika pendopo gubernuran menjadi lokasi rutin diskusi publik, pameran UMKM, pertunjukan budaya, kelas literasi digital, atau bahkan tempat bermain anak pada akhir pekan. Ruang itu akan hidup, relevan, dan bermakna.

Wahyu Cundrik menegaskan bahwa masyarakat Kalbar siap untuk mendukung langkah-langkah seperti ini. Ia mengusulkan agar Pemerintah Provinsi membuka kanal komunikasi permanen dengan masyarakat sipil, organisasi kepemudaan, kampus, dan komunitas seni budaya untuk bersama-sama merancang agenda-agenda publik di pendopo.

“Pendopo yang hidup akan melahirkan masyarakat yang terlibat. Itu jauh lebih penting dari sekadar pembangunan fisik. Karena pada akhirnya, demokrasi dan pembangunan sejati adalah tentang keterlibatan,” tutupnya.

 

Rumah Rakyat yang Sesungguhnya

Apa yang terjadi di Pendopo Gubernur Kalbar selama Ramadhan dan Idul Fitri 1446 H adalah lebih dari sekadar aktivitas seremonial. Ini adalah pesan kuat dari seorang pemimpin kepada rakyatnya: bahwa pemerintahan harus hadir, terbuka, dan melayani.

Dengan dukungan dari tokoh masyarakat, aktivis muda, dan warga Kalbar secara luas, spirit “rumah rakyat” ini semoga bisa terus tumbuh, tidak hanya di Pontianak, tetapi juga di seluruh penjuru Kalimantan Barat.

Kini saatnya semua pihak bergandengan tangan—memimpin dengan hati, membangun dengan niat baik, dan menjaga Kalbar sebagai tanah yang damai, terbuka, dan adil untuk semua.

Next Post Previous Post