Tan Tik Sioe, Pendekar Kungfu dari Tulungagung
Tan Tek Sioe bersamaTan Khoen Swie. Photo koleksi keluargra Tan Khoen Swie |
Di kaki Gunung Wilis, tepatnya di Dusun Genceng, Desa Sendang, Kabupaten Tulungagung, berdiri bangunan yang dihiasi dengan ornamen khas Tionghoa. Pagoda kecil, simbol Pa Kua segi delapan, dan patung macan putih menjadi bagian dari pemandangan yang menghormati gua pertapaan Tan Tik Sioe. Warga setempat menghormati tempat ini sebagai saksi bisu perenungan sang Pendekar Jari Rata yang menapak tilas di Tulungagung, seorang maestro yang menggabungkan seni bela diri, sastra, dan ilmu pengobatan Tiongkok.
Gua yang terletak di lereng Gunung Wilis ini, dengan desain mirip benteng bawah tanah, mengundang rasa penasaran. Pengunjung harus memasuki lewat pintu sempit setelah menuruni tangga. Di dalamnya, sebuah altar dan foto Tan Tiek Sioe menyambut setiap peziarah, bersama Ciam Si, alat ramal nasib dari bambu.
Lokasi ini, menurut Jito, penjaga gua, bukanlah destinasi wisata melainkan tempat untuk melakukan ritual dan sembahyang. Peziarah datang dari seluruh penjuru negeri, membuktikan pengaruh Tan Tik Sioe tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia tetapi juga bagi pengikut Kejawen, mengagumi filosofi hidup yang diajarkannya.
Jejak Pendekar Jari Rata
Tan Tik Sioe, yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Papak karena jari-jarinya yang unik, lahir di Surabaya pada 11 Juni 1884. Anak dari Tan Liong To dan seorang ibu beretnis Jawa ini, membawa cerita perpindahannya ke Tulungagung pasca kematian orang tuanya. Di kota baru, Tan Tik Sioe menorehkan jejaknya, mulai dari kerja di pabrik minyak hingga menjadi seorang sastrawan yang karya-karyanya mendapat tempat di media besar Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.
Cerita rakyat Tulungagung menyebutkan bahwa Tan Tik Sioe sempat ditemukan terlantar dan kemudian diadopsi oleh seorang misionaris Belanda. Beliau tidak hanya terkenal di Desa Sendang tetapi juga memiliki gua pertapaan di Sumberagung, menjadi figur sentral dalam perayaan Cap Go Meh dengan pertunjukan barongsai dan liong, serta meraih penguasaan dalam ilmu sastra dan bela diri.
Mewariskan Ilmu dan Filosofi
Tan Tik Sioe, yang akrab dengan lingkaran sastrawan dan pemikir Tionghoa, berkontribusi dalam evolusi literasi Jawa dengan penulisan yang mengadopsi aksara Latin dan Bahasa Melayu. Buku "Biografi Rama Moorti Tan Tik Sioe" mengungkapkan penguasaan bela dirinya yang mumpuni, termasuk jurus "Bidadari Menyebar Kembang".
Perjalanan hidup Tan Tik Sioe, yang berakhir di Penang, Malaysia, pada usia 45 tahun, meninggalkan warisan yang abadi. Klenteng dan tempat ibadah di Jawa hingga hari ini masih memuja kontribusi dan filosofi hidupnya, menjadikan Tan Tik Sioe sosok legenda yang menginspirasi lintas generasi.