Larangan Film His Only Son dimata seorang Ustad
Film His Only Son |
Kronologi Larangan
Larangan Film His Only Son oleh seorang Wakil Komisi VIII cukup menyita perhatian oleh berbagai pihak, tak sedikit yang kontra terhadap statement Tubagus Ace Hasan Syadzily karena banyak yang menganggap bahwa hal tersebut kurang pantas keluar dari pemikiran seorang wakil rakyat komisi VIII yang membidangi: Agama, Sosial, Kebencanaan serta Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak. Pandangan berbeda tak hanya datang dari latar belakang Filam His Only Son tersebut tetapi juga dari seorang Ustad bernama Ustadzmiftahcool yang dikutip dari halaman Facebooknya.
Pandangan Ustad Miftah
Berikut pandangan Ustad Miftah terkait Film His Only Son tersebut:
Komisi VIII DPR RI Yang Meminta Film His Only Son Dihentikan Penayangannya Bukanlah Tindakan Yang Bijaksana & Melanggar Asas Kebhinekaan.
Film ini bagus untuk ditayangkan dan tidak perlu dihentikan karena ada nilai sejarah yang mengemukakan perbedaan pandangan yang ada.
Film ini mengisahkan tentang Ibrahim (Abraham) yang akan mengorbankan Ishak (Isaac), kisah ini tidak hanya berdasarkan referensi dalam Alkitab versi Perjanjian Lama tapi hal ini sudah menjadi perbedaan pandangan dalam khazanah keislaman.
Ats-Tsa’labi dalam kitabnya Al-Kasyf Wal-Bayan Fi Tafsiril Qur’an bahwa yang mau disembelih atau dikurbankan itu ada 2 versi, 1. Yang dikurbankan adalah Ishak, didukung pendapat ini dari kalangan sahabat yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Al-Abbas bin Abd Muthalib; dari kalangan Tabi’in dan pengikut mereka yakni Ka’ab al-Ahbar, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Ikrimah, Muqatil, Al-Zuhri, dan Al-Suddi.
2. Yang dikurbankan adalah Ismail, pendapat ini disupport oleh Abdullah bin Umar dan Abu Umair Amir bin Watsilah dari kalangan sahabat. Sementara dari kalangan Taabi’in dan pengikut mereka adalah Said bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Yusuf bin Mahran, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Ibn Ka’ab Al-Quradhi, dan Al-Kalbi.
Dengan adanya film ini umat Islam khususnya juga akan lebih tahu bahwa dalam Islam pun terjadi 2 versi yang dikurbankan. Ini berarti kita secara jujur menyampaikan hal ini secara terbuka sehingga masyarakat tidak perlu berbantah-bantahan dalam masalah ini. Biarkan umat ini terbiasa berbeda seperti pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Taabiut Taabi’in hingga para ulama sehingga tak ada lagi penafsiran tunggal yang menyebabkan mandulnya dinamika keilmuan tapi yang kita harapkan adalah bisa menghargai perbedaan pandangan yang ada.
Kalau saya sendiri, saya memilih pendapat bahwa yang dikurbankan oleh Ibrahim adalah Ishak tanpa merendahkan pandangan bahwa Ismaillah yang dikurbankan. Kalau saya membayangkan lebih jauh bisa saja keduanya yang mengalami hal tersebut atau bisa saja itu sebuah kisah-kisah yang diambil dari sudut maknawi sebagai ibarah hikmah saja.
Teringat ketika Gusdur ditanya mana yang disembelih Ishak atau Ismail? Gusdur menjawab: “Keduanya benar. Baik Ishak maupun Ismail tidak ada yang jadi disembelih. Ngapain diributin.”
Benar tak perlu diributkan hal semacam ini, yang perlu diributkan kalau bapak-bapak zaman sekarang terhadap anaknya mengulang kisah Nabi Ibrahim tersebut.