![]() |
| Ilustrasi AI |
Kalimantan Utara, 3 Desember 2025 – Di tengah duka
yang masih menyelimuti Pulau Sumatera, sebuah sinar harapan datang dari ujung
utara Kalimantan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Pemprov Kaltara) secara
resmi menyalurkan bantuan kemanusiaan senilai Rp 1 miliar untuk meringankan beban
korban bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera
Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November lalu. Langkah ini bukan hanya
soal angka di kertas anggaran, tapi nyata-nyata wujud empati sesama anak
bangsa, di mana jarak ribuan kilometer tak lagi jadi penghalang untuk saling
tolong-menolong.
Bencana alam yang ganas ini, dipicu oleh curah hujan ekstrem
akibat perubahan iklim dan kerusakan ekosistem hutan di hulu sungai, telah
menorehkan luka dalam bagi jutaan warga Sumatera. Menurut data terbaru Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 3 Desember 2025, korban jiwa
mencapai 753 orang, dengan 650 jiwa masih dinyatakan hilang dan sekitar 2.600
orang mengalami luka-luka serius. Tak hanya itu, lebih dari 3,3 juta jiwa
terdampak langsung, sementara 576.300 orang terpaksa mengungsi ke posko darurat
yang kini penuh sesak. Ribuan rumah roboh, jalan raya putus, dan sawah ladang
tenggelam—semua ini meninggalkan jejak kehancuran yang sulit dilupakan.
Wilayah terparah termasuk Kabupaten Tanah Datar dan Padang
di Sumatera Barat, di mana banjir bandang menyapu desa-desa nelayan dan
perkebunan sawit. Di Aceh, longsor di daerah pegunungan seperti Aceh Tengah
menghancurkan akses jalan utama, memaksa warga bergantung pada helikopter untuk
evakuasi. Sementara di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Selatan, air bah
membawa lumpur dan puing yang menimbun sekolah-sekolah dan puskesmas. "Ini
bukan sekadar musim hujan biasa; ini peringatan keras dari alam yang sudah terluka
karena ulah manusia," kata pakar lingkungan dari Universitas Gadjah Mada
(UGM), menyoroti deforestasi sebagai pemicu utama longsor massal. Dampaknya
kian parah: di pengungsian, kasus penyakit kulit dan diare mulai merebak karena
air bersih langka, membebani fasilitas kesehatan yang sudah kolaps.
Di saat seperti ini, solidaritas antar-daerah menjadi
penawar yang paling ampuh. Pemprov Kaltara, yang dikenal dengan semangat gotong
royong khas masyarakat Kalimantan, tak tinggal diam. Pada Selasa, 2 Desember
2025, Wakil Gubernur Kaltara, Ingkong Ala, S.E., M.Si., secara simbolis
menyerahkan bantuan tersebut melalui Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat
Daerah (Setda) Provinsi. Dana ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) 2025, dialokasikan khusus untuk tanggap darurat: logistik
makanan, obat-obatan, alat evakuasi, dan dukungan pemulihan infrastruktur
dasar. "Ini bencana kita bersama, penderitaan yang kita rasakan bareng. Rp
1 miliar ini semoga bermanfaat, meringankan beban saudara-saudara kita di
Sumatera," ujar Ingkong Ala dengan nada penuh ikhlas, saat menyampaikan
pesan dari Gubernur Dr. H. Zainal A. Paliwang, S.H., M.Hum.
Gubernur Zainal sendiri tak henti-hentinya menekankan nilai
kemanusiaan lintas wilayah. "Bencana tidak mengenal batas provinsi atau
pulau. Saat saudara kita di Sumatera kesulitan, sudah jadi kewajiban moral kita
untuk bantu. Semoga bantuan ini percepat penanganan dan pemulihan,"
katanya dalam pernyataan resmi. Inisiatif ini bagian dari gerakan "Kaltara
Peduli Sumatera", yang digaungkan lewat doa bersama di masjid-masjid dan
gereja se-Kaltara, plus kampanye media sosial dengan tagar #PrayforSumatera.
Ribuan warga Tanjung Selor dan Tarakan ikut menyumbang donasi sukarela,
menambah kekuatan bantuan pemerintah.
Bukan Kaltara saja yang bergerak. Gelombang solidaritas ini
merebak ke seluruh nusantara. Gubernur Jawa Tengah, misalnya, mengirimkan Rp
1,3 miliar untuk kebutuhan mendesak di Sumatera Barat, sementara Pemprov
Sulawesi Selatan menyusul dengan Rp 1,5 miliar yang dibagi ke Aceh, Sumut, dan
Sumbar. Di tingkat swasta, perusahaan seperti Musim Mas turun tangan dengan
ribuan paket sembako—beras, minyak goreng, telur, hingga air mineral—langsung
diserahkan ke kelurahan terdampak. Bahkan organisasi seperti PWNU Sumbar
menargetkan 1.000 paket bantuan untuk korban di Kecamatan Pauh dan sekitarnya,
menunjukkan betapa kuatnya jaringan keagamaan dalam krisis.
Presiden Prabowo Subianto pun turun langsung memantau
situasi, memerintahkan percepatan evakuasi dan rekonstruksi. BNPB, bekerja sama
dengan TNI dan Polri, telah mendirikan 150 posko darurat, meski tantangan
logistik masih besar akibat jalan yang rusak. Walhi, LSM lingkungan, menyerukan
"legalisasi bencana ekologis" dengan tuntutan tanggung jawab negara
dan korporasi atas deforestasi yang memperburuk longsor. Mereka bilang, ini
saatnya reformasi kebijakan hutan untuk cegah tragedi serupa di masa depan.
Kembali ke Kaltara, bantuan Rp 1 miliar ini diharapkan tiba
di Sumatera dalam waktu 48 jam, dikoordinasikan dengan BNPB setempat. Tak ada
kata terlambat dalam gotong royong; yang penting, setiap rupiah sampai ke
tangan yang tepat. Seperti kata Ingkong Ala, "Korban di sana adalah
keluarga kita juga." Di balik angka-angka tragis, cerita seperti ini
mengingatkan bahwa Indonesia adalah satu tubuh: jika satu bagian sakit, yang
lain ikut merasakan.
Solidaritas ini juga jadi pelajaran berharga. Di era
perubahan iklim, bencana seperti banjir Sumatera 2025—yang menelan ratusan
nyawa dan mengungsi jutaan orang—bukan lagi kejadian sporadis, tapi ancaman
rutin. Pemerintah daerah seperti Kaltara, dengan APBD-nya yang terbatas, tetap
memilih berbagi. Mungkin, ini momen untuk dorong anggaran mitigasi bencana
nasional yang lebih besar, agar Sumatera tak lagi jadi korban selanjutnya.
Sementara itu, di Tanjung Selor, doa-doa terus mengalir.
#PrayforSumatera bukan sekadar tagar; itu janji untuk bangkit bersama. Semoga,
dari bantuan Kaltara ini, benih harapan tumbuh kembali di tanah Sumatera yang
basah oleh air mata dan lumpur.





.webp)

