![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN, Di tengah ambisi besar pemerintah untuk memindahkan pusat
pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), sebuah temuan ilmiah dari Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti masalah krusial yang bisa mengganggu
kelangsungan hidup di wilayah tersebut. Para peneliti dari Pusat Riset Iklim
dan Atmosfer BRIN telah melakukan studi mendalam mengenai sumber daya air di
kawasan IKN, dan hasilnya menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih di sana
sangatlah terbatas. Kondisi ini bukan hanya sekadar kekhawatiran sementara,
melainkan potensi ancaman nyata yang dapat menghambat pembangunan kota baru
tersebut jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penelitian ini menjadi
peringatan bagi para pemangku kebijakan untuk tidak hanya fokus pada
infrastruktur megah, tapi juga pada aspek lingkungan yang mendasar seperti air.
Penelitian yang dipimpin oleh Laras Toersilowati, seorang
peneliti senior di BRIN, memanfaatkan teknologi canggih untuk menganalisis
kondisi air di IKN. Mereka menggunakan pendekatan Artificial Neural Network
(ANN), atau yang dikenal sebagai Jaringan Saraf Tiruan (JST), sebuah metode
pemrosesan data yang terinspirasi dari cara kerja otak manusia. Sistem ini
dirancang untuk mengenali pola dan menganalisis informasi kompleks, dengan
kelebihan utama dibandingkan metode statistik tradisional karena tidak memerlukan
data yang harus berdistribusi normal. "Pendekatan ini memungkinkan kami
untuk memproses data secara lebih fleksibel dan akurat, mirip dengan jaringan
saraf biologis yang adaptif terhadap berbagai input," jelas Laras dalam
wawancaranya. Dengan ANN, tim BRIN dapat memprediksi dan memetakan ketersediaan
air berdasarkan data empiris yang dikumpulkan sepanjang tahun 2022.
Untuk mendapatkan data yang akurat, penelitian ini
mengandalkan citra satelit dari Sentinel-2A, yang diolah melalui platform
Google Earth Engine (GEE). Platform ini memungkinkan akses cepat ke data
geospasial global, sehingga tim bisa menganalisis wilayah IKN dan sekitarnya
secara komprehensif. Tiga indeks spektral utama digunakan sebagai dasar
prediksi: Indeks Air Permukaan Tanah (LSWI), yang mengukur kelembaban tanah;
Indeks Perbedaan Vegetasi Ternormalisasi (NDVI), yang menilai kesehatan
vegetasi; serta Indeks Perbedaan Air Ternormalisasi (NDWI), yang mendeteksi
keberadaan air terbuka. Ketiga indeks ini diintegrasikan ke dalam model ANN
untuk menghasilkan peta distribusi air yang detail. Proses ini tidak hanya
mengandalkan teknologi satelit, tapi juga mempertimbangkan faktor-faktor
lingkungan seperti topografi dan pola musim, sehingga hasilnya lebih reliabel
dibandingkan survei lapangan konvensional yang memakan waktu dan biaya besar.
Hasil analisis mengejutkan dan mengkhawatirkan. Dari
keseluruhan wilayah yang diteliti, hanya sekitar 0,51% yang dikategorikan
sebagai memiliki ketersediaan air tinggi (High Water atau HW), yang berarti air
permukaan yang melimpah dan mudah diakses. Sementara itu, 20,41% wilayah
mengandung air yang tersimpan dalam vegetasi (Vegetation Water atau VW),
seperti di hutan atau lahan hijau yang menyerap air hujan. Sisanya, yang
mencapai 79,08%, adalah wilayah non-air (Non-Water atau NW), di mana sumber air
sangat minim atau bahkan tidak ada. "Kondisi ini menegaskan bahwa IKN
memang menghadapi kekurangan air secara struktural, dengan hanya setengah
persen wilayah yang benar-benar kaya air," tambah Laras. Temuan ini
menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem air di kawasan tersebut, terutama
mengingat IKN berada di wilayah Kalimantan Timur yang dikenal dengan hutan
tropisnya, tapi juga rentan terhadap perubahan iklim.
Lebih lanjut, peneliti menyoroti risiko yang muncul jika
pembangunan terus berlanjut tanpa mitigasi. Sebagian besar air saat ini
tersimpan dalam vegetasi, yang berfungsi sebagai reservoir alami. Namun, dengan
rencana konversi lahan menjadi bangunan, jalan, dan fasilitas kota, vegetasi
ini akan hilang, sehingga ketersediaan air akan semakin menurun.
"Bayangkan saja, 20% air yang ada bergantung pada tanaman dan hutan. Jika
itu diganti dengan beton, kita kehilangan sumber air alami tersebut, dan itu bisa
membuat IKN tidak layak untuk ditinggali dalam jangka panjang," ujar
Laras. Kondisi ini diperburuk oleh faktor eksternal seperti peningkatan jumlah
penduduk. Sebagai ibu kota baru, IKN diproyeksikan akan menarik ribuan
pendatang, yang tentu saja akan meningkatkan permintaan air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari, industri, dan pertanian. Tanpa persiapan, hal ini bisa
memicu krisis air yang meluas, mirip dengan yang dialami beberapa kota besar di
dunia seperti Cape Town atau Jakarta.
Dampak lingkungan dari kekurangan air ini juga tidak bisa
diabaikan. Penelitian BRIN memprediksi potensi penurunan curah hujan akibat
hilangnya tutupan hijau, yang pada gilirannya mengurangi siklus air alami.
Selain itu, kualitas air bisa menurun karena pencemaran, termasuk kontaminasi
zat besi dari tanah laterit yang umum di Kalimantan. "Kita bisa menghadapi
masalah seperti air keruh, banjir musiman yang tidak terkendali, atau bahkan
kekeringan berkepanjangan," jelas Laras. Dampak sosial pun tak kalah serius;
peningkatan pendatang tidak hanya membebani sumber daya air, tapi juga bisa
menimbulkan konflik atas akses air bersih, terutama bagi masyarakat lokal yang
sudah bergantung pada sumber air tradisional. Jika tidak diantisipasi,
pembangunan IKN yang ambisius ini berisiko gagal mencapai tujuan sebagai kota
modern yang berkelanjutan, malah menjadi beban lingkungan yang mahal untuk
diperbaiki di masa depan.
Untuk mengatasi ancaman ini, BRIN menawarkan sejumlah solusi
praktis yang bisa diadopsi oleh pemerintah. Pertama, pembangunan infrastruktur
pendukung seperti bendungan, embung, dan jaringan perpipaan baru untuk
menangkap dan mendistribusikan air secara efisien. Ini akan membantu
mengamankan pasokan air dari sumber eksternal, seperti sungai terdekat atau air
hujan yang dikumpulkan. Kedua, penerapan konsep Kota Spons (Sponge City), yang
menekankan pengelolaan air hujan secara alami. Konsep ini melibatkan desain
kota yang memungkinkan air meresap ke tanah melalui taman hijau, atap hijau,
dan sistem drainase permeabel, sehingga air bisa disimpan dan dimanfaatkan
kembali tanpa bergantung pada infrastruktur buatan semata. "Dengan Kota
Spons, kita bisa meniru alam dalam mengelola air, mengurangi banjir sekaligus
meningkatkan ketersediaan air tanah," saran Laras. Selain itu, edukasi
masyarakat menjadi kunci; sosialisasi tentang penghematan air dan pencegahan
pencemaran harus dilakukan secara massif untuk membangun kesadaran kolektif.
Penelitian ini bukan hanya kontribusi akademis, tapi juga
alat bantu kebijakan yang vital. Data satelit yang digunakan memberikan
perspektif luas dan objektif, yang bisa menjadi dasar bagi pemerintah dalam
menyusun rencana jangka panjang. Sebagai contoh, hasil kajian ini bisa
diintegrasikan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang
Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah, yang menetapkan IKN sebagai pusat
administrasi negara mulai tahun 2028. Di sana, lembaga-lembaga negara seperti
Istana Presiden, Kementerian Koordinator, DPR/MPR, Mahkamah Agung, dan Mahkamah
Konstitusi akan berdiri, menjadikan IKN sebagai simbol kemajuan nasional.
Namun, tanpa pengelolaan air yang bijak, visi ini bisa terancam. Temuan BRIN
mengingatkan bahwa pembangunan harus holistik, menggabungkan kemajuan teknologi
dengan pelestarian lingkungan, agar IKN tidak hanya menjadi kota politik, tapi
juga tempat hidup yang aman dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Secara keseluruhan, ancaman krisis air di IKN menekankan
pentingnya keseimbangan antara ambisi pembangunan dan realitas alam.
Pemerintah, bersama BRIN dan stakeholder lain, perlu segera bertindak untuk
mengimplementasikan solusi-solusi tersebut. Jika berhasil, IKN bisa menjadi
contoh kota masa depan yang ramah lingkungan; jika tidak, proyek ini berisiko
menjadi pelajaran mahal tentang bagaimana mengabaikan sumber daya alam bisa
mengganggu kehidupan manusia. Dengan pendekatan ilmiah seperti yang dilakukan
BRIN, Indonesia memiliki peluang untuk membangun ibu kota yang tidak hanya
megah, tapi juga tahan banting terhadap tantangan iklim global.







