Mengajar di Tengah Keterpencilan: Pemprov Kaltim Perjuangkan Nasib Guru 3T Demi Pemerataan Pendidikan

 

Di tengah geliat pembangunan dan semangat transformasi pendidikan nasional, masih ada titik-titik senyap yang luput dari sorotan terang. Titik-titik itu adalah kawasan Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T)—wilayah yang aksesnya sulit, fasilitas minim, namun tetap menyimpan harapan besar akan masa depan bangsa. Di situlah para guru bekerja dalam kesunyian, membakar semangat demi anak-anak yang ingin maju. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) melihat itu, dan kini bergerak lebih jauh untuk memperjuangkan nasib para pendidik yang bertugas di medan yang tak mudah itu.

Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, menjadi suara yang mewakili kegelisahan sekaligus semangat perubahan. Dalam keterangannya pada Kamis, 23 Juni 2025, ia mengungkapkan bahwa hingga hari ini masih banyak guru honorer yang belum mendapatkan kepastian masa depan dalam bentuk status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Mereka tetap mengajar, tetap hadir di depan kelas, meski tanpa jaminan yang layak.

“Memang saat ini ada guru yang belum masuk Program PPPK. Karena itu, kita berupaya memperjuangkan nasib para guru ini,” ujar Seno. Menurutnya, perjuangan ini bukan baru dimulai. Pemprov Kaltim telah melayangkan surat resmi kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) agar membuka kembali kuota formasi PPPK, khususnya bagi guru honorer yang telah mengabdi di wilayah 3T.

“Kami menyurati Menteri PAN-RB beberapa waktu lalu agar gelombang berikutnya dibuka untuk penerimaan PPPK. Ini kesempatan yang baik bagi para guru yang masih memiliki status honorer. Walau belum tahu apakah usulan kami diterima atau tidak, kami akan terus berusaha,” jelasnya penuh tekad.

Seno Aji tidak menutup mata terhadap realitas yang dihadapi para guru. Ia mengakui bahwa banyak tenaga pengajar lebih memilih mengajar di kota-kota besar, di mana akses, fasilitas, dan kenyamanan hidup lebih terjamin. Fenomena ini menjadi dilema klasik yang masih sulit dipecahkan. Di satu sisi, kebutuhan guru di daerah pelosok sangat mendesak. Tapi di sisi lain, ketimpangan insentif dan tantangan geografis membuat daerah-daerah itu justru semakin kekurangan tenaga pendidik yang berkualitas.

Fakta ini menjelma menjadi cerita harian di tempat-tempat seperti Kutai Timur, Mahakam Ulu, dan Kutai Barat—wilayah yang menurut Seno akan menjadi prioritas penempatan guru dalam skema pemerataan pendidikan di Kalimantan Timur. Di tempat-tempat seperti itulah, guru bukan sekadar pengajar, tapi juga motivator, pembimbing, bahkan terkadang menjadi satu-satunya simbol kehadiran negara.

Pemprov Kaltim, menyadari hal ini, tak tinggal diam. Seno menjelaskan bahwa saat ini pemerintah tengah merancang kebijakan tambahan insentif untuk para guru yang ditugaskan di daerah 3T. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), tunjangan khusus, atau skema baru yang dapat langsung menyasar kebutuhan para guru tersebut.

“Kami ingin memastikan bahwa guru di wilayah 3T juga mendapatkan perhatian yang sama. Bukan hanya secara moral, tapi juga dari segi kesejahteraan. Ini tetap menjadi perhatian serius Pemprov Kaltim,” tegasnya.

Namun, insentif saja tidak cukup. Menurut Seno, semangat para guru harus terus dibakar. Mereka adalah agen perubahan yang mengubah keterbatasan menjadi kekuatan, mengubah hening menjadi harapan. Maka dari itu, meskipun tantangan seperti keterbatasan akses dan minimnya fasilitas sekolah di wilayah-wilayah terpencil masih membayangi, pemerintah berkomitmen menjaga api dedikasi mereka tetap menyala.

Dalam waktu dekat, berbagai skema tambahan insentif sedang disiapkan. Salah satunya termasuk pembiayaan yang bersumber dari Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). Dana ini telah digunakan untuk menggaji guru-guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di daerah-daerah pelosok. “Pemberian BOSP agar guru-guru terus meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut,” jelas Seno.

Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan di Kalimantan Timur, apalagi dalam era Ibu Kota Nusantara, tidak hanya diukur dari megahnya gedung atau teknologi yang digunakan. Keberhasilan pendidikan diukur dari sejauh mana anak-anak di pelosok desa bisa merasakan kualitas pengajaran yang sama dengan anak-anak di kota besar. “Pastinya kita berharap agar para guru senantiasa menunjukkan dedikasi, semangat, dan ketulusan dalam menjalankan peran sebagai agen perubahan. Terutama menjangkau hati peserta didik,” pungkasnya.

Pendidikan di wilayah 3T memang tidak bisa diseragamkan dengan wilayah perkotaan. Di tempat yang jaringan internet sulit didapat, di mana sekolah hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama berjam-jam, atau bahkan menyeberangi sungai deras, mengajar bukan hanya soal metode. Mengajar menjadi bentuk ketulusan yang paling nyata—dimana satu huruf yang diajarkan bisa mengubah jalan hidup seseorang.

Langkah yang diambil Pemprov Kaltim merupakan titik awal penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang lebih adil dan merata. Jika wilayah 3T terus dibiarkan tanpa intervensi serius, maka kesenjangan pendidikan akan semakin lebar, dan anak-anak di pelosok akan terus berada di garis belakang. Tapi jika perjuangan ini konsisten, maka suatu saat, Mahakam Ulu bisa menghasilkan sarjana-sarjana terbaiknya, Kutai Timur melahirkan guru-guru muda baru, dan Kutai Barat menjadi pusat pendidikan unggul di jantung Kalimantan.

Perjuangan untuk guru 3T bukan hanya soal anggaran atau formasi PPPK. Ini adalah perjuangan moral sebuah bangsa untuk hadir di setiap jengkal wilayahnya, memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak, dan menghargai guru sebagai cahaya di tengah gelapnya keterbatasan. Dan dalam perjuangan ini, Kalimantan Timur sedang memberikan contoh nyata bahwa pendidikan harus diperjuangkan sampai ke titik terjauh sekalipun.

Next Post Previous Post