IKN di Tengah Perebutan Tanah dan Modal Asing: Antara Janji Listrik, Ganti Rugi, dan Rp 70 Triliun dari Tiongkok
Di balik kemegahan visi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN)
yang digadang-gadang sebagai simbol baru masa depan Indonesia, terselip
dinamika yang kian kompleks—mencakup tarik-menarik antara pembangunan dan
hak-hak masyarakat lokal, serta derasnya arus modal asing yang tak bisa lagi
diabaikan.
PT PLN (Persero), sebagai salah satu ujung tombak dalam memastikan pasokan energi di wilayah yang tengah dibentuk dari nol ini, tampak bergerak cepat. Dalam proyek pembangunan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV Kuaro – GIS 4 IKN, PLN tak hanya mengerahkan teknisinya, tetapi juga menghadirkan wajah ketegasan hukum. Di Balikpapan, pada 2 Juni 2025, General Manager PLN Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Timur, Raja Muda Siregar, menegaskan bahwa proyek ini harus berjalan sesuai prosedur hukum dan secara transparan.
“Kami ingin memastikan proses pengadaan tanah berjalan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujarnya, dalam keterangan yang dikutip dari ANTARA.
Sikap ini tak datang tanpa alasan. Proyek yang menyentuh langsung hak milik tanah warga di Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, membawa sensitivitas tersendiri. PLN, melalui Unit Pelaksana Proyek Kalimantan Timur 1 (UPP KLT 1), telah turun langsung ke Desa Rangan, Desa Sandeley, dan Desa Modang, untuk menyosialisasikan nilai ganti rugi tanah kepada warga yang terdampak pembangunan jalur listrik tersebut.
Sosialisasi ini tak sekadar menginformasikan, melainkan menjadi arena klarifikasi dan penguatan komitmen hukum. Tim PLN menjabarkan mekanisme penghitungan nilai tanah, yang telah dikaji oleh lembaga appraisal independen—langkah penting agar proses tidak dianggap sepihak. Menariknya, PLN tak bekerja sendirian. Mereka menggandeng unsur pemerintah desa, serta aparat penegak hukum dari Kejaksaan Negeri Paser, Polsek Kuaro, Babinsa, hingga Badan Intelijen Daerah (Binda) Kalimantan Timur.
“Infrastruktur ketenagalistrikan SUTT 150 kV Kuaro – GIS 4 IKN merupakan bagian integral dari interkoneksi sistem kelistrikan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan,” terang Raja Muda Siregar lagi, menegaskan bahwa proyek ini bukan proyek sembarangan, melainkan bagian dari rencana besar ketenagalistrikan nasional yang menopang pertumbuhan IKN.
Satu aspek yang terus ditekankan oleh PLN adalah pentingnya menjaga keandalan pasokan listrik untuk menopang aktivitas di IKN, terutama dengan keberadaan Gardu Induk Kuaro dan GIS 4 yang disebut sebagai “tulang punggung kelistrikan” bagi kawasan Ibu Kota masa depan itu.
“PLN mengapresiasi dukungan masyarakat terhadap proyek ini dan berharap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di IKN dapat berjalan lancar serta berkontribusi pada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya, menyiratkan harapan besar agar proyek ini tak hanya menjadi monumen teknologi, tetapi juga menjadi bagian dari cerita kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur.
Namun, di tengah geliat pembangunan itu, tak dapat dipungkiri bahwa pusaran investasi juga memainkan peranan kunci. IKN bukan hanya ladang infrastruktur fisik, tapi juga tanah subur bagi investasi asing yang mulai mengalir deras. Salah satu sumber terbesarnya: Tiongkok.
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, dengan nada optimistis menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen penuh dalam mendukung kelancaran investasi dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
“Pemerintah komitmen dukung kelancaran investasi di IKN, salah satunya investasi Tiongkok,” ucap Basuki saat ditemui di Sepaku, Penajam Paser Utara, pada 30 Mei 2025.
Menurut Basuki, pemerintah telah menyiapkan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang melibatkan penjaminan dari lebih dari satu pihak, atau yang dikenal sebagai co-guarantee. Skema ini bertujuan memberikan kepastian kepada investor agar proyek berjalan hingga tuntas, tanpa tersendat oleh risiko-risiko finansial atau politik.
“Pembangunan IKN gunakan skema itu dengan penjaminan yang libatkan lebih dari satu pihak penjamin,” katanya menjelaskan.
Bukan hanya wacana. Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi Otorita IKN, Agung Wicaksono, menyebut bahwa angka investasi yang telah masuk dari konsorsium perusahaan Tiongkok telah mencapai sekitar Rp 70 triliun. Dana ini diarahkan untuk mendanai berbagai proyek strategis seperti perumahan, transportasi, dan jalan—tiga sektor kunci dalam merancang kota yang disebut-sebut akan menjadi simbol kemajuan peradaban Indonesia modern.
Proyek-proyek tersebut tentu menjadi daya tarik besar. Namun, ketika angka-angka fantastis ini diumumkan, banyak mata yang beralih menyoroti dampak dari pembangunan tersebut. Masyarakat lokal, khususnya di Kalimantan Timur, mulai bertanya-tanya: seberapa besar ruang yang tersisa bagi mereka dalam narasi besar ini?
Proses pembebasan lahan yang berlangsung di Kuaro adalah potret kecil dari dinamika besar yang tengah berlangsung. Sosialisasi ganti rugi memang dilakukan, namun keterlibatan aparat hukum menunjukkan bahwa tidak semua proses berjalan mulus. Keterlibatan aparat seringkali dipandang ganda oleh masyarakat: di satu sisi untuk memastikan keadilan, di sisi lain bisa dimaknai sebagai tekanan agar warga menyetujui harga yang ditetapkan.
Situasi ini juga menjadi pemicu kekhawatiran masyarakat adat seperti yang diungkapkan sebelumnya oleh pihak-pihak seperti Stepanus Febyan Babaro—warga Dayak yang mengajukan uji materi terhadap UU IKN. Ia menggugat pasal-pasal soal hak atas tanah yang dinilai membuka jalan bagi penguasaan jangka panjang oleh pihak asing. Ia menyuarakan kegelisahan bahwa proyek sebesar IKN bisa saja menjadi alat peminggiran bagi masyarakat lokal yang tanahnya telah diwarisi secara turun-temurun.
Di sisi lain, pemerintah dan PLN berupaya menegaskan bahwa pendekatan yang mereka gunakan adalah legal dan terukur. Keterlibatan appraisal independen misalnya, merupakan langkah untuk menjaga integritas proses.
Namun, pertanyaan fundamental tetap muncul: bagaimana memastikan bahwa proses ini benar-benar adil bagi semua pihak?
Tantangan lainnya datang dari kekhawatiran akan ketimpangan akses terhadap manfaat pembangunan. Apakah investasi Rp 70 triliun dari Tiongkok dan pembangunan infrastruktur listrik akan menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi warga lokal? Atau akankah mereka hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri?
Di tengah hingar bingar pembangunan dan arus modal, suara rakyat akar rumput masih bergema meski kerap tenggelam dalam riuh tepuk tangan para investor. PLN boleh saja memastikan pembangunan SUTT 150 kV berjalan sesuai hukum, dan Otorita IKN dapat dengan bangga mengumumkan masuknya dana puluhan triliun rupiah dari investor asing. Namun, narasi pembangunan yang sesungguhnya akan dinilai dari seberapa inklusif proses itu dijalankan, seberapa besar masyarakat lokal mendapatkan ruang, dan seberapa kuat perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka, termasuk hak atas tanah.
Pembangunan memang perlu kecepatan dan efisiensi. Tapi pembangunan juga menuntut keteladanan moral dan keberpihakan sosial. Ketika proyek-proyek megastrategis seperti IKN melibatkan pengadaan lahan besar-besaran dan kucuran investasi asing, maka pertanyaan yang paling penting bukanlah “seberapa cepat kita membangun?”, tetapi “siapa yang ikut tumbuh bersama pembangunan itu?”
Dalam situasi di mana listrik menjadi simbol kemajuan dan investasi menjadi motor penggerak, satu hal yang tidak boleh dilupakan: bahwa kota sebesar apapun tak akan berarti jika tidak memberi tempat yang adil bagi warganya sendiri. Dan di IKN, cerita tentang tanah, listrik, dan modal adalah cerita tentang masa depan Indonesia itu sendiri.