Lonjakan Harga Bahan Pokok Selama Ramadan Dongkrak Inflasi Kalteng hingga 1,33 Persen
PALANGKA RAYA – Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan
Tengah (Kalteng) mencatat bahwa bulan Maret 2025, yang bertepatan dengan bulan
suci Ramadan 1446 Hijriah, menjadi periode yang penuh gejolak dalam hal harga
kebutuhan pokok. Provinsi ini mengalami inflasi year on year (y-on-y) sebesar
1,33 persen, dipicu oleh kenaikan harga di sejumlah kelompok pengeluaran,
terutama kelompok makanan dan minuman.
Inflasi ini terkonfirmasi lewat rilis resmi yang disampaikan Kepala BPS Kalteng, Agnes Widiastuti, pada Selasa (8/4/2025). Ia menjelaskan bahwa perkembangan harga berbagai komoditas di Kalimantan Tengah selama Maret 2025 mengalami peningkatan signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Pada bulan Maret 2025, indeks harga konsumen (IHK) tercatat naik dari 105,96 di tahun sebelumnya menjadi 107,37,” ujar Agnes dalam keterangannya.
Lonjakan Harga Dipimpin oleh Kelompok Pangan
Menurut data BPS, kelompok pengeluaran yang mengalami
kenaikan tertinggi adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang naik
sebesar 2,90 persen. Kenaikan ini memberikan andil cukup besar terhadap
inflasi, yaitu 1,14 persen.
Tidak hanya itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya juga mencatat kenaikan yang cukup tinggi, mencapai 7,28 persen, dengan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,40 persen. Diikuti oleh kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran yang memberikan andil sebesar 0,20 persen.
Beberapa kelompok lainnya yang juga mencatatkan inflasi antara lain:
- Pakaian dan alas kaki naik 1,98 persen (andil 0,08 persen),
- Perlengkapan rumah tangga naik 0,62 persen (andil 0,03 persen),
- Kesehatan naik 1,92 persen (andil 0,04 persen),
- Rekreasi, olahraga dan budaya naik 1,09 persen (andil 0,02 persen),
- Pendidikan naik 2,23 persen (andil 0,08 persen).
Sukamara Tertinggi, Sampit Terendah
Inflasi tak terjadi merata di seluruh wilayah Kalimantan
Tengah. Dari hasil pemantauan yang dilakukan di empat kabupaten/kota, Kabupaten
Sukamara mencatat inflasi y-on-y tertinggi, yakni 2,27 persen, dengan IHK
mencapai 109,52.
Sedangkan Sampit, kota di Kabupaten Kotawaringin Timur, menjadi daerah dengan inflasi terendah, hanya 0,93 persen dengan IHK 106,26.
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan inflasi berbeda-beda, bergantung pada kondisi lokal masing-masing wilayah, termasuk ketersediaan stok barang dan lancarnya distribusi logistik.
Ramadan Picu Kenaikan Permintaan
Ramadan dikenal sebagai bulan yang sarat aktivitas konsumsi,
terutama menjelang waktu berbuka puasa. Menurut Agnes, lonjakan inflasi ini tak
lepas dari peningkatan permintaan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu,
seperti cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih.
“Selama Ramadan, banyak masyarakat dan pedagang yang meningkatkan pembelian bahan makanan untuk kebutuhan rumah tangga maupun usaha kuliner berbuka puasa. Ini memicu kenaikan harga yang signifikan,” ungkap Agnes.
Salah satu komoditas yang paling menonjol memberikan andil terhadap inflasi adalah cabai rawit, dengan sumbangan sebesar 0,19 persen.
Cuaca Buruk Ganggu Pasokan
Faktor lain yang tak kalah penting adalah kondisi cuaca yang
kurang mendukung selama masa panen. Hujan lebat dan curah hujan tinggi
menghambat distribusi dan memperkecil hasil panen, menyebabkan stok barang di
pasar menjadi terbatas, khususnya komoditas hortikultura seperti cabai.
“Kendala cuaca memperburuk ketersediaan stok. Sementara permintaan tinggi karena Ramadan. Inilah yang menyebabkan harga naik,” jelas Agnes.
Suara dari Lapangan: Pedagang Menjerit
Di tengah lonjakan harga, para pedagang di pasar tradisional
merasakan langsung dampaknya. Wanda (40), seorang pedagang sayur di Pasar Besar
Palangka Raya, menyatakan bahwa harga cabai rawit sempat menembus angka Rp 135
ribu per kilogram menjelang akhir Ramadan.
“Banyak pelanggan yang mengeluh, bahkan ada yang urung membeli karena harga terlalu mahal,” kata Wanda. “Penjualan kami otomatis menurun.”
Ia menambahkan, setelah Lebaran harga sempat turun menjadi Rp 100 ribu, namun saat ini kembali merangkak naik ke kisaran Rp 110–120 ribu per kilogram.
Keluhan serupa juga datang dari Yulia (25), pedagang sayur lainnya di lokasi yang sama. Ia menyebut bahwa tren pembelian konsumen mulai berubah saat harga melambung.
“Kalau harga cabai sudah di atas Rp 100 ribu, orang cenderung malas beli. Kalau pun beli, jumlahnya dikurangi. Harapan kami, harga bisa stabil, biar pembeli tetap ada,” ujar Yulia.
Tantangan Stabilitas Harga dan Ketahanan Pangan
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengendalian harga di
masa-masa krusial seperti Ramadan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah
daerah. Selain faktor permintaan yang tinggi, gangguan pasokan akibat cuaca dan
distribusi juga memegang peranan penting.
BPS menekankan pentingnya kebijakan strategis untuk menjaga stabilitas harga, seperti operasi pasar, memperkuat cadangan pangan, dan memperlancar distribusi bahan pokok antardaerah. Terlebih Kalimantan Tengah sebagai provinsi yang luas, memerlukan sistem logistik yang tangguh agar inflasi tidak terakumulasi pada waktu-waktu tertentu saja.
Inflasi sebesar 1,33 persen yang terjadi di Kalimantan
Tengah selama Ramadan 2025 mencerminkan kondisi yang kompleks, melibatkan
dinamika konsumsi masyarakat, ketersediaan stok, hingga cuaca yang memengaruhi
rantai pasok. Meskipun angka ini belum tergolong mengkhawatirkan secara
nasional, tetap menjadi peringatan bahwa stabilitas harga pangan perlu dijaga
secara konsisten, apalagi saat memasuki bulan-bulan yang rawan fluktuasi
seperti Ramadan dan menjelang hari besar keagamaan.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, tekanan inflasi bisa menggerus daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan bergantung pada harga stabil untuk kebutuhan pokok harian mereka. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan lebih proaktif dalam memetakan kebutuhan dan strategi stabilisasi harga, demi kesejahteraan masyarakat luas.